Sambungan >>>>>
…… Karena adik saya yang terkecil sudah bisa ditinggal oleh ibu, maka ibuku kembali mulai beraktivitas membantu ayahku memenuhi kebutuhan hidup meski kebutuhan itu sangat sederhana. Mulai dari mengurus rumah tangga, mengurus kebun, hilir mudik lahat – lubuk linggau naik kereta berjualan sayur – mayur, bahkan sampai ke menyadap pohon karet jika sedang berwaktu sedikit luang.
Suatu ketika, ibuku mengajakku menelusuri Sungai Kikim dari Desa Lubuk Tuba sampai ke Desa Sendawar untuk mencari sayuran jenis daun pakis dan dijual ke Kota Lahat menggunakan kereta malam dan pagi hari pulang lagi ke desa juga dengan naik kereta. Sebelum pulang ke desa, tak lupa ibuku membeli Es Mambo untuk dijual lagi ke di desa kami dan juga desa-desa tetangga.
Aku yang saat itu merupakan anak tertua yang ada di rumah dan sudah duduk di bangku kelas empat SD, setiap sepulang sekolah aku bersama adik perempuanku bernama Julita (Sekarang Almarhumah) diminta ibuku menjual Es Mambo tersebut berjalan tanpa alas kaki ke Desa Sendawar yang jaraknya sekitar belasan kilometer menelusuri rel kereta. Keadaan ini, hampir satu tahun berjalan dan aku selalu setorkan uang hasil penjualan Es Mambo itu pada ibuku sepulang dari berjualan.
Entah kenapa, suatu hari apes menimpa kami saat pergi jualan Es Mambo sepulang sekolah. Dalam perjalanan pergi berjualan hujan turun begitu lebat disertai petir dan guntur, aku dan adikkupun singgah berteduh di bawah pepohonan di pinggiran rel kereta hampir 3 jam lamanya. Kendati hari sudah mulai sore dan Es Mambo juga sudah mulai mencair, namun kami tetap melanjutkan perjalanan untuk berjualan.
Tak urung, tiba di Desa Sendawar warga setempat yang biasanya duduk dan mengerumuni jualan kami, sudah sepi dan Es Mambo jualan kamipun satupun tak ada yang laku. Dengan wajah yang kecape’an serta diwarnai rasa takut dimarahi ibuku, kami pulang usai waktu sholat magrib dengan hampa tanpa hasil serupiahpun.
Tiba di rumah ibuku marah besar, karena Es Mambo yang kami jual tidak satupun yang laku dan semuanya sudah mencair. Dengan rasa kecewanya, ibu membanting termos es tersebut hingga pecah dan isinya berhamburan. “Tekor kita, modalnya sudah besar, uangnya tidak kembali”, kira-kira demikian gerutu ibuku sambil meneteskan airmata menangis sedih kesal dengan keadaan hidup dan menyaksikan aku dan adikku begitu takut setelah dimarahi ibu. Betapa tidak, ibuku memang merugi karena kami tidak laku menjual Es Mambo itu, sementara modalnya cukup besar dan Es Mambonya sudah berhamburan tak jadi uang. Sejak saat itu, aku dan adikku sudah tak disuruh lagi berjualan.
Karena tak lagi berjualan Es Mambo, aku tetap membantu ibuku dengan mengurus kebun jagung di pinggiran Sungai Jelatang Alhasil kebun jagung sudah mulai panen dan aku diminta untuk menjual jagung tersebut keliling kampung bahkan ke sekolah.
Hanya berjalan sebulan, jagung di kebunpun sudah mulai habis. Lalu aku diminta ibu untuk membantu membuat kebun ubi di pekarangan rumah tepat di depan Stasiun Kereta Bemban.
Mulai dari mengambil unjar (Kayu untuk pagar kebun) ke hutan-hutan sampai ke…………… Bersambung >>>>
Baca kisah sebelumnya :
CATATAN ANAK LERENG BUKIT : Berbagi Segenggam Beras Dicampur Jagung dan Kelapa Parut