Naskah : Nopi / SMSI
JAKARTA, GmS – Mencermati fenomena penurunan kualitas demokrasi secara global yang terjadi akhir-akhir ini, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta seyogiyanya merasa terpanggil untuk kembali meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan demokrasi (civic education) demi masa depan demokrasi Indonesia yang lebih baik.
Pandangan itu disampaikan oleh Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Achmad Ubaedillah, M.A dalam pidato pengukuhan atau orasi ilmiah Guru Besar di hadapan Sidang Terbuka Senat Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu (15/5/2024).
Orasi Ilmiah Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga tengah mendapatkan amanah sebagai Duta Besar RI untuk Brunei Darussalam itu berjudul “Menyegarkan kembali pendidikan demokrasi di perguruan tinggi keagamaan Islam: Pengalaman dan kontribusi IAIN/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”.
Selain Prof. Achmad Ubaedillah (Guru Besar Bidang Ilmu Sejarah Politik Islam), Sidang Terbuka Senat Akademik UIN Syarif Hidayatullah di Auditorium Utama Prof. Dr. Harun Nasution yang dipimpin oleh Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D itu juga mengukuhkan lima Guru Besar Lainnya.
Kelima Guru Besar itu adalah Prof. Dr. Yusuf Rahman, M.A., (Guru Besar Bidang Ilmu Pemikiran Islam), Prof. Usep Abdul Matin, S.Ag., M.A., M.A., Ph.D. (Guru Besar Bidang Ilmu Sejarah dan Peradaban Islam), Prof. Nur Hidayah, S.E., S.Ag., M.A., M.A., Ph.D. (Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Ekonomi Syariah), Prof. Arif Zamhari, M.Ag., Ph.D. (Guru Besar Bidang Sosiologi Islam), dan Prof. Dr. Ambran Hartono, S.Si., M.Si. (Guru Besar Bidang Fisika Terapan).
Prof. Ubaedillah lebih lanjut mengemukakan, setelah jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998, demokrasi telah menjadi kekuatan pendorong bagi perubahan politik dan sosial di Indonesia, dan kini pendidikan demokrasi oleh Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, khususnya yang berada di lingkungan Kementerian Agama RI mendesak untuk dilakukan.
Peran perguruan tinggi keagamaan Islam sangat penting dalam menyebarkan nilai-nilai dan praktik demokrasi melalui program pendidikan demokrasi yang dikemas dalam bentuk pendidikan kewarganegaraan bagi kalangan generasi muda Muslim untuk memelihara demokrasi sebagai komitmen publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dikatakannya, UIN Syarif Hidayatullah memiliki peran strategis dan historis dalam pengembangan pendidikan demokrasi di kalangan generasi muda Muslim. Perguruan Tinggi Islam Negeri itu, bersama lebih dari 130 perguruan tinggi lainnya tercatat sebagai pelaku sejarah pengembangan pendidikan demokrasi pasca Orde Baru.
Mantan Atase Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Atdikbudristek) KBRI Riyadh Kerajaan Arab Saudi itu menekankan arti pentingnya upaya penyegaran untuk pembumian (internalisasi) nilai-nilai demokrasi dan pemikiran Islam inklusif di kalangan pemikir muslim Indonesia maupun internasional.
Anggota Komisi Hubungan Luar Negeri-Kerjasama Internasional MUI Pusat yang juga duduk di Badan Pengembangan Jaringan Internasional PBNU itu juga menekankan pentingnya upaya menjalin kerjasama dengan figur-figur demokratis berpengaruh dan organisasi masyarakat sipil moderat, dan kedua unsur ini seyogiyanya berkolaborasi dengan peruguruan tinggi seperti UIN dan sejenisnya.
Menurut Prof. Ubaedillah, selaku kampus yang dikenal sebagai “Kampus Pembaharu”, hendaknya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta semakin mantap untuk senantiasa berada di garis paling depan dalam spirit mempertahankan diri sebagai “center for excellence” (pusat keunggulan) bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan gagasan ke-Islaman.
Perguruan Tinggi Islam ini juga harus tetap menjadi “kawah candradimuka” bagi lahirnya sarjana muslim yang andal, adaptif terhadap perkembangan dan kebutuhan zaman, terbuka, serta berwawasan keIslaman dan keIndonesiaan yang kuat dan iklusif.
Pada saat yang sama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan perguruan tinggi lainnya, dalam situasi demokrasi global yang tengah tidak baik-baik saja harus menyadari posisi pentingnya demokrasi di Indonesia.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga harus menjadi komponen strategis dalam mempromosikan kesetaraan kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia (HAM) di dunia Islam dan dunia internasional.
Langkah strategis itu dapat direalisasikan melalui penyegaran kembali program pendidikan demokrasi serta dengan bersinergi dengan elemen masyarakat sipil dalam satu barisan untuk melindungi demokrasi Indonesia.
Prof. Ubaedillah juga menjelaskan, sejak awal masa reformasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah berhasil menorehkan sejarah dalam menginisiasi program nasional dan ‘pendidikan politik’ melalui pengembangan mata kuliah pendidikan kewarganegaraan.
Berbeda dengan program pendidikan kewarganegaraan di masa lalu yang penuh dengan deviasi, pendidikan kewarganegaraan yang diperkenalkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta saat ini lebih mengutamakan pendekatan dan metode baru dalam mengajarkan nilai dan prinsip-prinsip demokrasi.
“Program ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan bagi perkembangan dan pembudayaan demokrasi di Indonesia,” katanya sambil menambahkan bahwa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam dapat mengisi kekosongan program pendidikan politik publik yang seharusnya dilakukan oleh partai politik.
Ia juga mengemukakan, keberhasilan awal Indonesia sebagai negara mayoritas muslim yang paling demokratis tidak dapat dipisahkan dari kontribusi umat Islam, dan peran dua organisasi Islam terbesar, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sangat penting dalam mempromosikan dan memperkuat demokratisasi di Indonesia.